2012/09/16

Aku dan Hijab

6 tahun lalu ...

Kala itu aku memasuki tahun ajaran baru di SMP. Kelas 9. Ya, aku berada pada jajak akhir dari tingkatan sekolah menengah pertama. Penentu apakah aku akan melanjutkan ke tingkatan selanjutnya, penentu masa depanku. UAN adalah hal yang krusial bagi aku dan semua teman-temanku saat itu. Terlebih setelah melewati bulan September 2006, semua terasa mencekam. Berbagai pemantapan diberikan oleh guru-guru kami. Berbagai ritual dilakukan, mulai dari puasa Senin-Kamis, khatam Al - Qur'an, bahkan nazar yang bermacam-macam jenisnya, mulai dari akan berhenti merokok, memberi sumbangan, traktir teman satu angkatan, dan sebagainya.

Aku, yang saat itu gadis lugu yang mengikuti trend, berpikir ritual apa yang akan kulakukan demi suksesnya UAN ini, demi suksesnya langkahku di tingkat ini. Ingin ku puasa Senin-Kamis, ah terlampau berat untuk ku, puasa Ramadhan pun masih bolong-bolong, ditambah jarak dari sekolah ke rumah yang kurang lebih 40 km. Khatama Al-Qur'an? Itu sudah rutinitas, tak seharusnya dijadikan ritual khusus. Sudah biasa kulakukan. Nazar? Masih terlalu takut aku tak mampu memenuhinya.

Pusing memikirkan ritual yang sebenarnya tak perlu, akhirnya membuatku hanya menggaruk-garuk kepala, membuat rambutku berantakan. Sekilas teringatlah kepadaku, akan kepalaku yang masih telanjang ini. Tertutupi dan terjaga hanya hari Jum'at, karena sekolah mewajibkan, dan ketika shalat dan mengaji. Dimotivasi dengan kepercayaan ritual ini, akhirnya ku-hijab-kan kepalaku, pada bulan Oktober 2006. Hijab yang saat itu aku percaya sebagai 'jimat keberuntungan' untuk UAN. Alhamdulillah, pada akhirnya aku lulus dengan menyandang peringkat ketiga NEM tertinggi di sekolah. Sejak saat itu, timbullah rasa dihati, yang setulusnya bahwa aku akan terus memakai hijab sampai akhir hayat.

Saat ini ...


Lucu memang. Alasan dan motivasi yang tidak masuk akal. Kepercayaan yang sebenarnya hampir membawaku musyrik. Namun, kini kutemukan hijab sebagai bagian dari diriku. Hijab sebagai pelindungku. Hijab sebagai pengingatku. Dan Hijab sebagai sahabatku yang mengingatkanku pada kekasih tercintaku, Allah SWT.

Jujur, hukum memakai hijab, segala dalil dan ganjarannya di neraka, baru aku pahami ketika aku menginjak bangku kuliah. Memahaminya membuatku ngeri dan merasa berkewajiban untuk mensyiarkan bahwa seorang muslimah diwajibkan untuk memakai jilbab. Karena sungguh akan terasa beban dosa apabila aku mengetahui kebaikan namun tidak menyebarkannya. Namun, ah, terlalu mengerikan jika aku langsung frontal mengatakan kalau tidak memakai jilbab akan dilaknat Kekasih Rasul dan dosa baginya adalah setiap helai rambut yang dilihat oleh setiap lelaki yang bukan muhrimnya. Aku lebih suka menyampaikannya dengan caraku, dengan berbagi pengalaman.

Kata sahabatku, Dina, memakai hijab ada prosesnya. Ada tiga proses: Tidak memakai, belajar memakai, dan memakai sepenuhnya. Dan kita semua saat ini berada pada tahap kedua, belajar memakai, dimana hijab masih suka buka-tutup, masih pakai yang tidak menutup bagian dada, dan lain sebagainya. Kata sahabatku yang lainnya, sebelum memakai hijab, hijab-kan dulu hati. Karena apabila hati belum ter-hijab, kepala pun tak akan ter-hijab.

Mereka benar. Mereka sahabat yang mengingatkan sahabat-sahabat yang lain akan kebaikan. Tetapi, oh, sahabatku, tahukah engkau bahwa mengenakan hijab dimulai dari kesadaran hati? Dimulai dari keinginan seorang muslimah? Bukan atas dasar paksaan. Karena sesungguhnya hijab berfungsi sebagai pelindung. Tercantum di Surat Al-Ahzab (59) Allah SWT bersabda kepada Rasul-Nya untuk menyuruh muslimah berhijab agar terhindar dari gangguan.

Kurasakan perbedaan ketika hijab menyelimutiku dan ketika ku campakkan sehelai kain itu. Ketika kucampakkan, dan terlihat oleh para lelaki helai rambutku, mahkotaku, berbagai siulan menggoda mengiringi langkah. Berbagai tatapan mereka menggelitik rasa risih dalam setiap nafas. Sungguh, meski mereka mengagumi indahnya ciptaan Yang Maha Kuasa, terasa terhina karena menjadi konsumsi umum. Belum lagi pandangan sinis sekaumku, para kaum hawa.

Jauh berbeda ketika hijab menyelimutiku, melindungi mahkotaku, melindungi hartaku. Tatapan dan godaan mereka menjadi sopan. Siulan-siulan berubah menjadi salam yang teriring doa. Pandangan sinis berubah jadi senyuman ramah. Sungguh berbeda. Sungguh Allah menepati janji-Nya kepada hamba-Nya yang taat.

Dan sungguh, wahai sahabatku, kurasakan bagaimana hijab menjadi pengingat dan penjaga bagi muslimah yang setia memakainya. Kurasakan perbedaan sikapku, ketika perisai Allah yang lembut ini melekat di tubuhku, bagaimana ia membatasi dan menjaga perilaku, dibanding ketika aku sudutkan ia dipojok lemari baju. Bukti bagaimana Allah meninggikan derajat muslimah di dunia dan akhirat. Subhanallah.

Aku bukanlah ahli kitab. Aku bukanlah seorang ustadzah. Tapi aku adalah muslimah yang sudah merasakan segala kebesaran dan pembuktian janji-janji Allah terhadap hamba-Nya. Sekarang giliranku untuk menjalankan kewajibanku sebagai muslimah. Sahabatku, renungkanlah, ceritakan ini kepada adik, kakak, ibu, saudara, sahabat bahkan kekasihmu. Jadikanlah mereka muslimah yang menerima janji-janji Allah SWT, kemuliaan seorang wanita di dunia dan akhirat.

Ada pria muslim dan pria non-muslim. Pria non-muslim bertanya, 'mengapa kamu menyuruh wanitamu menutup seluruh tubuhnya, sedangkan keindahan ada padanya?'. Pria muslim hanya tersenyum, dan mengeluarkan dua bungkus permen. Satu permen dia buka bungkusnya, kemudian dia lemparkan keduanya ke tanah. Pria non-muslim tekejut, 'kenapa kau buang permen-permen itu?'. Pria muslim sambil tersenyum kemudia bertanya, 'permen yang manakah yang akan kau ambil?'. 'Tentu saja yang masih terbungkus', jawabnya. Pria muslim kemudian berkata, 'begitulah cara kami melihat wanita kami, sedangkan tanah itu diibaratkan sebagai dunia.'

Posted by: Cempaka Indrapuspa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar